/ Islam Logical: http://muhshodiq.wordpress.com/2007/10/27/perlukah-logika-untuk-memahami-syariat-islam/

Minggu, 10 April 2011

http://muhshodiq.wordpress.com/2007/10/27/perlukah-logika-untuk-memahami-syariat-islam/

Perlukah logika untuk memahami Syariat Islam?

Apakah ilmu mantiq (logika) dibutuhkan untuk memahami teks Al-Qur’an, Al-Hadits, dan teks-teks keagamaan? Mengapa?

Secara garis besarnya, kita jumpai empat macam jawaban ulama terhadap pertanyaan di atas:

1) Ada ulama yang antipati, menentang, atau menolak secara mutlak keberadaan ilmu mantiq untuk memahami teks-teks Islam.

Keberadaan ulama yang berpandangan demikian diterangkan oleh Umar M. Noor sebagai berikut.

Sejak awal kehadirannya di dunia Islam, mantik menyalakan perdebatan sengit di kalangan para ulama, terutama ahli kalam. Mereka sangat anti kepada mantik dan melarang manusia untuk mempelajarinya. Ibn Khaldun berkata bahwa antipati ini lahir karena persinggungan prinsip ilmu kalam dengan mantik yang melahirkan pilihan: terima mantik maka tinggalkan kalam atau terima kalam maka tinggalkan mantik. Padahal, ilmu kalam adalah ilmu dasar yang bertugas menetapkan akidah islamiah menyangkut keesaan Allah dan kebaharuan alam semesta. Bahkan Al Qadhi Abu Bakar Al Baqillani menyatakan bahwa prinsip-prinsip ilmu kalam adalah bagian dari akidah. Menyerangnya sama dengan berusaha menghancurkan sendi-sendi akidah islamiah.

Singkatnya, menurut mereka, logika atau ilmu mantiq itu bukan hanya tidak dibutuhkan, melainkan juga haram (tidak boleh) digunakan untuk memahami teks-teks Islam.

2) Ada ulama yang simpati, menyambut, atau menerima secara bulat-bulat keberadaan ilmu mantiq untuk memahami teks-teks Islam.

Keberadaan ulama yang berpandangan demikian diterangkan oleh Umar M. Noor sebagai berikut.

Seperti Al Farabi dan Ibn Sina, Al Ghazali berpendapat bahwa mantik adalah aturan-aturan berpikir yang berfungsi meluruskan akal dalam menarik kesimpulan dan membebaskannya dari campuran prasangka dan imajinasi. Tugas utama mantik dengan demikian adalah menjaga akal dari kesalahan berpikir. Mantik bagi akal sepadan dengan posisi nahwu bagi bahasa Arab dan ilmu ‘Arud bagi ritme puisi (syair). Meminjam analogi Al Farabi, mantik bagi akal ibarat neraca dan takaran yang berfungsi mengukur bobot benda yang tak bisa diketahui ukurannya dengan tepat jika hanya menggunakan indera. Atau ibarat penggaris untuk mengukur panjang dan lebar sesuatu yang indera manusia sering keliru dalam memastikannya.

Al Ghazali bahkan menegaskan bahwa mantik merupakan mukaddimah (organon) seluruh ilmu –-bukan hanya pengantar filsafat. Maka barangsiapa yang tidak menguasai mantik, seluruh pengetahuannya rusak dan diragukan.

Singkatnya, menurut mereka, logika atau ilmu mantiq itu bukan hanya dibutuhkan, melainkan juga wajib (harus) digunakan untuk memahami teks-teks Islam.

3) Ada ulama yang tidak bersimpati, tetapi tidak secara mutlak menolak keberadaan ilmu mantiq untuk memahami teks-teks Islam.

Keberadaan ulama yang berpandangan demikian diungkapkan oleh Umar M. Noor sebagai berikut.

Abu Amr Ibn Shalah … mengatakan bahwa setiap orang yang otaknya cerdas otomatis berpikirnya logis tanpa harus belajar mantik.

Lebih lanjut, Umar M. Noor menerangkan:

Ketika sekilas saya mengamati buku “Kubra Al Yaqiniat Al Kauniah: Wujud ul-Khaliq wa Wazifat ul-Makhluq” karya Dr Said Ramadhan Al Buthi, saya menemukan sedikit peninggalan Ibn Taymiah di dalamnya. Dalam pengantar cetakan ketiga-nya, Dr Said menulis, “Apakah dalam menguraikan pembahasan akidah islamiah dalam buku ini kami berpedoman kepada filsafat Yunani dan logika formal (mantik shuri)?…Kami tidak menggunakannya sama sekali. Kami hanya menyajikan kepada pembaca dalil-dalil dan bukti-bukti yang diakui akurasinya sepanjang sejarah meski diungkapkan dengan bahasa yang berbeda-beda.”

Selanjutnya, setelah menyebutkan kekurangan dan kelebihan mantik, Dr Buthi berkata, “Kami tidak berkata bahwa filsafat Yunani dan logika Aristoteles semuanya salah. Tidak ada alasan sama sekali untuk menutup mata dan pikiran darinya. Di dalamnya [ada] banyak hal yang bermanfaat, namun [ada] banyak pula yang menyulut kritikan dari para ulama dan filosof muslim. Orang yang selalu hendak membangun pemikirannya dengan dasar-dasar ilmiah harus mampu memilih yang baik dari orang lain, daripada menolaknya sama sekali.” Ini pendirian Ibn Taymiah yang mengakui adanya hal-hal positif dalam mantik, karena itu ia tidak membantah demonstrasi [logika] yang didukung premis-premis meyakinkan, meski negatifnya lebih banyak daripada positifnya.

Kemudian, di pembukaan (tamhid) yang membandingkan metode ilmiah pemikir muslim dan pemikir Barat, Dr Buthi menyebutkan bahwa analisa rasional yang digunakan kaum muslimin dalam membahas sesuatu yang tidak diberitakan oleh Al Qur’an dan hadis mutawatir adalah dilalah iltizam dan qiyas ‘illat. Dan keduanya benar-benar metode alternatif yang ditawarkan Ibn Taymiah. Wallahu A’lam.

Singkatnya, menurut mereka, logika atau ilmu mantiq itu kurang dibutuhkan walaupun boleh (tidak haram) digunakan untuk memahami teks-teks Islam.

4) Ada ulama yang tidak antipati, tetapi tidak secara bulat-bulat menerima keberadaan ilmu mantiq untuk memahami teks-teks Islam.

Keberadaan ulama yang berpandangan demikian diungkapkan oleh Umar M. Noor sebagai berikut.

Pada masa penerjemahan literatur asing atas perintah Khalifah Al Makmun (w. 218 H), buku-buku [dari Yunani] ini menarik perhatian banyak cendikiawan muslim pada saat itu hingga beberapa dekade setelahnya. Abu Nashr Al Farabi, Abu Ali Ibn Sina dan Ibn Rusyd menulis berbagai komentar dan penjelasan tentang cabang ilmu ini. Kemudian datang generasi selanjutnya yang menyempurnakan ilmu ini dengan memandangnya sebagai ilmu tersendiri, bukan hanya ilmu alat (organon), dengan menambah yang kurang dan membuang yang tidak perlu. Orang pertama yang melakukan ini adalah Imam Fajruddin bin Al Khatib lalu Afdhaluddin Khawanji. Proyek mereka sungguh sukses sehingga berhasil menenggelamkan karya tokoh-tokoh sebelumnya dan mengalahkan metode mereka.

Di Indonesia, salah seorang ulama terkemuka yang tidak secara bulat-bulat menerima keberadaan ilmu mantiq untuk memahami teks-teks Islam ialah Kyai Haji Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.

… naskah pidato terakhir Kyai yang berjudul Tali Pengikat Hidup menarik untuk dicermati karena menunjukkan secara eksplisit konsen Kyai terhadap pencerahan akal suci melalui filsafat dan logika. Sedikitnya ada tiga kalimat kunci yang menggambarkan tingginya minat Kyai dalam pencerahan akal, yaitu: (1) pengetahuan tertinggi adalah pengetahuan tentang kesatuan hidup yang dapat dicapai dengan sikap kritis dan terbuka dengan mempergunakan akal sehat dan istiqomah terhadap kebenaran akali dengan didasari hati yang suci; (2) akal adalah kebutuhan dasar hidup manusia; (3) ilmu mantiq atau logika adalah pendidikan tertinggi bagi akal manusia yang hanya akan dicapai hanya jika manusia menyerah kepada petunjuk Allah swt.

Pandangan beliau itu dikembangkan lebih lanjut oleh ulama-ulama Muhammadiyah. Munas Tarjih di Jakarta, 5-7 Juli 2000, menghasilkan Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam yang menggunakan tiga jenis pendekatan: bayani, burhani (yang di dalamnya terkandung ilmu mantiq), dan ‘irfani. Bahwa Muhammadiyah tidak secara bulat-bulat menerima keberadaan ilmu mantiq (atau pun “alat bantu” lain) untuk memahami teks-teks Islam, kita bisa mengetahui dengan menyimak bagaimana Muhammadiyah memadukan ketiga pendekatan tersebut:

Hubungan yang baik antara ketiganya adalah hubungan yang bersifat spiral, dalam arti bahwa masing-masing pendekatan keilmuan yang digunakan dalam pemikiran keislaman, sadar dan memahami keterbatasan, kekurangan dan kelemahan yang melekat pada diri masing-masing dan sekaligus bersedia memperbaiki kekurangan yang melekat pada dirinya. Dengan begitu, kekakuan, kekeliruan, ketidaktepatan, kesalahan, yang melekat pada masing-masing metodologi dapat dikurangi dan diperbaiki, setelah memperoleh masukan dari pendekatan bayani, burhani maupun ‘irfani. Corak hubungan yang bersifat spiral, tidak menunjukkan adanya finalitas dan eksklusivitas, lantaran finalitas –untuk kasus-kasus tertentu– hanya mengantarkan seseorang dan kelompok muslim pada jalan buntu (dead lock) yang cenderung menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antar sesama muslim. Lebih-lebih lagi, finalitas tidak memberikan kesempatan munculnya new possibilities (kemungkinan-kemungkinan baru) yang barangkali lebih kondusif untuk menjawab persoalan-persoalan keislaman kontemporer.

Jadi, logika atau ilmu mantiq itu sangat dibutuhkan sebagai “alat bantu” untuk memahami teks-teks Islam, supaya kita terjaga dari kesalahan-berpikir atau sesat-pikir (fallacy) dan terjaga dari debat-kusir atau jalan buntu (dead lock) yang cenderung menyebabkan ketidakharmonisan hubungan antar sesama muslim.

————–

Referensi:

Umar M. Noor, “Menimbang Mantik: Antara Al Ghazali dan Ibn Taymiah”

Mohamad Ali dan Marpuji Ali, “Filsafat Pendidikan Muhammadiyah

MT-PPI PP Muhammadiyah, “Manhaj Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam