/ Islam Logical

Sabtu, 06 Agustus 2011

Mengungkap Rahasia Ramadhan – Kalam Habib Ali Bin Muhammad Al Habsyi

Untaian nasehat dan beberapa kalam mutiara yang sarat dengan hikmah ini berasal dari seorang yang bergelar waliyullah yang arif (mencintai dan di cintai Allah serta Rasul Nya SAW) dan menapakkan kakinya pada jejak dan langkah datuk-datuknya. Semenjak kecil di kenal sebagai seorang yang mempunyai tali ikatan kuat kepada Allah dan Rasul-Nya SAW hingga kalam mutiaranya di tulis dan di bacakan di setiap pembukaan majelis-majelis sebagai sarana untuk menumbuhkan benih kecintaan kepada Nafahat (hembusan rahmat) dan Rahmat Allah serta sebagai penawar rindu kepada kekasih-Nya, Rosul Allah SAW. Beliau tiada lain adalah Al Habib Ali bin Muhammad Al Habsyi yang nasehat dan kalamnya terangkum dalam kitab “Al Mawaaid Ar Ramadhaniyyah Minal Anfaasil Aliyyah” yang di kumpulkan oleh Habib Ali bin Abdul Qodir bin Muhammad Al Habsyi Seiwun pada tahun 1986 M/1406 H.

Habib Ali Al Habsyi memusatkan perhatiannya terhadap Nafahat yang di turunkan Allah SWT, agar kita yang hidup di akhir zaman ini dapat mengambil berkah hingga dapat menumbuhkan banyak pohon yang membuahkan ilmu dan amal khususnya di bulan Ramadhan.

Kumpulan kalam beliau tersebut di sampaikan pada malam ke7 Ramadhan 1326 H setelah sholat Tarawih di Masjid Riyadh di kota Seiwun. Beliau menegaskan,
“Ketahuilah, bulan ini adalah bulan yang mulia dan di mulyakan oleh Allah Ta’ala. Oleh karenanya datang lah kepada Tuhan kalian dengan penuh kemulyaan, raih lah kedudukan yang tinggi dengan amal shaleh pada bulan ini. Jika kalian menginginkan kebahagiaan dan kemenangan di bulan ini, lakukan bentuk-bentuk ketaatan dan senangkanlah dirimu pada kebaikan seperti dengan memperbanyak membaca Al Qur’an, berdzikir, sedekah dsb. Maka hal itu semua merupakan tanda bahwa kalian semua adalah orang-orang ahli khair.”

Dulu nasehat sangat bermanfaat dan menggoreskan kesan yang dalam di hati karena sesungguhnya kesan nasehat itu bukan hanya sekedar khusyu’ ketika mendengarkannya. Namun nasehat itu dapat menyebabkan kalian meninggalkan maksiat, menyesali dosa dan membangkitkan semangat untuk berbuat taat.

Para sholihin dahulu telah berhasil meraih nafahat pada bulan Ramadhan. Ini di karenakan mereka mampu menundukkan nafsu mereka untuk tidak berbuat maksiat. Mereka sadar di beri amanat oleh Allah SWT yang berupa mata, lisan, telinga dan perut mereka jaga. Berbeda dengan kita sudah berapa banyak amanat yang di berikan kepada kita, namun kita khianati. Ketahuilah, wahai saudaraku sudah 7 hari Ramadhan lewat di hadapan kita, namun apakah tampak pada diri kita perubahan amal, perubahan hati yang tadinya gelap menjadi terang. Hal itu semua dapat tertolong dengan banyaknya shodaqoh di bulan ini.

Jangan sekali-kali kalian menganggap remeh perbuatan kebajikan walau sebesar biji sawi. Misal, menampakkan wajah yang berseri-seri kepada saudaranya. Karena Allah di setiap malam bulan Ramadhan membebaskan dari api neraka sebanyak 600.000 hambanya yang mau menggunakan kesempatan di bulan Ramadhan untuk berbuat kebajikan.

Imam Sya’roni di dalam mujahadahnya (kesungguhan) amalnya dan dalam menundukkan hawa nafsunya apabila terbesit pada hatinya ingin bersedekah walau ia masih berada dalam kamar mandi, ia berteriak kepada keluarganya,
“Tolong berikan uang dinar ku kepada Fulan agar aku merasa lega.” Ketika di tanya kenapa tidak menunggu hingga keluar dari kamar mandi baru setelah itu bersedekah…? Beliau menjawab,
“Saya khawatir nafsuku menundukkan diriku, hingga aku berpaling tidak mau bersedekah dan meninggalkan amal baik. Oleh karenanya aku bersegera untuk menundukkan nafsuku.”

Pada kesempatan lain di malam ke8 Ramadhan 1326 H, setelah melakukan shalat tarawih berjamaah di Masjid Riyadh, beliau berdiri memberikan nasehatnya,
“Sebagian para arifin telah berkata, orang yang tidur sedangkan hatinya tidak tersimpan sesuatupun kecuali Allah, maka ia akan mendapati di dalam tidurnya keistemewaan yang tidak di berikan kepada orang yang berdiri di tengah sholat malamnya dan orang yang berpuasa di siang harinya. Karena Allah telah memuliakan orang yang mempunyai hati yang siap untuk menerima nafahat di bulan Ramadhan ini.

Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi SAW telah memberikan peringatan, namun hati ini tetap keras. Apakah kita tidak merasa kematian yang akan datang dengan tiba-tiba, perpisahan dengan orang yang kita cintai. Bukalah mata hati kalian, gunakan telinga kalian untuk mendengarkan Kitabullah. Ketahuilah, perjalanan hari telah memberi peringatan. Kalian telah mengetahui perjalanan hidup Kekasih Allah, Nabi Muhammad SAW. Jika tidak meneladani Nabi SAW, lantas kita mau meneladani siapa…????

Gunakan kesempatan kalian pada sisa-sisa malam di bulan yang penuh barokah ini. Karena aku melihat Nabi SAW di beberapa malam di bulan Ramadhan ini ketika aku berada di hadapan beliau. Beliau SAW menjawab salamku, kemudian Beliau SAW berkata kepadaku,
“Apakah engkau tidak senang wahai ‘Ali, bahwa sesungguhnya amalmu dan amal teman-temanmu di terima oleh Allah SWT.”

Ketahuilah, wahai saudara-saudaraku bahwa di malam-malam Ramadhan, Allah SWT membukakan pintu untuk dapat langsung berhubungan dengan Allah dan Kekasih-Nya. Semoga Allah mempertemukan kita dengan bulan Ramadhan di tahun-tahun berikutnya dengan keadaan sehat wal ‘afiyah..”
Read More … Mengungkap Rahasia Ramadhan – Kalam Habib Ali Bin Muhammad Al Habsyi

Jumat, 05 Agustus 2011

Nasehat Bagi Si Sakit

Read More … Nasehat Bagi Si Sakit

Tuntunan Shalat Tarawih

Read More … Tuntunan Shalat Tarawih

Sholat Dhuha: Kunci Meraih Rezeki Sepanjang Hari: Sholat Dhuha Setiap Pagi: Kunci Meraih Rizki Sepan...

Sholat Dhuha: Kunci Meraih Rezeki Sepanjang Hari: Sholat Dhuha Setiap Pagi: Kunci Meraih Rizki Sepan...: "Dalam doa yang kita panjatkan kepada Allah SWT, kita selalu menyelipkan permohonan doa agar di mudahkan meraih rezeki-Nya dari arah yang tak..."
Read More … Sholat Dhuha: Kunci Meraih Rezeki Sepanjang Hari: Sholat Dhuha Setiap Pagi: Kunci Meraih Rizki Sepan...

SHALAT DHUHA (Dalam Sebuah Tinjauan)

oleh : Ahmad Sanusi



PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Didalam Surah Adh-Dhuha Allah swt bersumpah dengan waktu dhuha dan waktu malam:

“Demi waktu matahari sepenggalahan naik, dan demi malam apabila telah sunyi.” (QS. 93:1-2).

Pernahkah terlintas dalam benak kita mengapa Allah swt sampai bersumpah pada kedua waktu itu?. Beberapa ahli tafsir berpendapat bahwa kedua waktu itu adalah waktu yang utama paling dalam setiap harinya.

Pada waktu itulah Allah swt sangat memperhatikan hambaNya yang paling getol mendekatkan diri kepadaNya. Ditengah malam yang sunyi, dimana orang-orang sedang tidur nyenyak tetapi hamba Allah yang pintar mengambil kesempatan disa’at itu dengan bermujahadah melawan kantuk dan dinginnya malam dan air wudhu’, bangun untuk menghadap Khaliqnya, tidak lain hanya untuk mendekatkan diri kepadanya.

Demikian juga dengan waktu dhuha, dimana orang-orang sibuk dengan kehidupan duniawinya dan mereka yang tahu pasti akan meninggalkannya sebentar untuk kembali mengingat Allah swt, sebagaimana yang dikatakan oleh sahabat Zaid bin Arqam ra ketika beliau melihat orang-orang yang sedang melaksanakan shalat dhuha: “Ingatlah, sesungguhnya mereka telah mengetahui bahwa shalat itu dilain sa’at ini lebih utama. Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Shalat dhuha itu (shalatul awwabin) shalat orang yang kembali kepada Allah, setelah orang-orang mulai lupa dan sibuk bekerja, yaitu pada waktu anak-anak unta bangun karena mulai panas tempat berbaringnya.” (HR Muslim).

Lantas bagaimana tidak senang Allah dengan seorang hamba yang seperti ini, sebagaimana janjiNya: “Hai orang-orang yang beriman bertaqwalah Kepada Allah

dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan. (QS. 5:35). Diakhir ayat ini terlihat Allah menyatakan kata “beruntung” bagi hambanya yang suka mendekatkan diri kepadanya. Nach.. kalau bicara tentang beruntung tentu ini adalah rejeki bagi kita. Dan satu hal yang perlu kita ingat bahwa rejeki itu bukan hanya bentuknya materi atau uang belaka. Tetapi lebih dalam dari itu, segala sesuatu yang diberikan kepada kita yang berdampak kebaikan kepada kehidupan kita didunia dan diakhirat adalah rejeki. Dan puncak dari segala rejeki itu adalah kedekatan kepada Allah swt dan tentu kalau berbicara ganjaran yaitu kenikmatan puncak yang paling akhir adalah syurga. Oleh karena itu para ulama mengajarkan kita untuk berdo’a tentang rejeki ketika selesai shalat dhuha. Jadi salah satu fadilah (keutamaan) dari shalat dhuha itu adalah sarana jalan untuk memohon limpahan rejeki dari Allah swt.

Tetapi yang lebih dalam dari itu lagi adalah shalat dhuha ini adalah salah amalan yang disukai Rasulullah saw beserta para sahabatnya (sunnah), sebagaimana anjuran beliau yang disampaikan oleh Abu Hurairah ra: “Kekasihku Rasulullah saw telah berwasiat kepadaku dengan puasa tiga hari setiap bulan, dua raka’at dhuha dan witir sebelum tidur” (Bukhari, Muslim, Abu Dawud).

Kalaulah tidak khawatir jika ummatnya menganggap shalat dhuha ini wajib hukumnya maka Rasulullah saw akan tidak akan pernah meninggalkannya. Para orang alim, awliya dan ulama sangatlah menjaga shalat dhuhanya sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Syafei’: Tidak ada alasan bagi seorang mukmin untuk

tidak melakukan shalat dhuha”. Hal ini sudah jelas dikarenakan oleh seorang mukmin sangat apik dan getol untuk mendekatkan diri kepada Tuhannya”.

Jadi tidak ada alasan lagi bagi kita sebagai seorang muslim yang mempunyai tujuan hidup untuk mendapatkan ridhoNya meninggalkan shalat dhuha karena kesibukan duniawi kita kecuali karena kelalaian dan kebodohan kita sendiri.

BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian

Pengertian shalat dhuha dalam tulisan ini penulis ambil dari berbagai literatur, seperti dari buku-buku ilmiah, dan beberapa sumber internet.

Shalat Dhuha adalah shalat sunat yang dikerjakan pada waktu pagi hari, diwaktu matahari sedang naik. Sekurang-kurangnya shalat ini dua rakaat, boleh empat rakaat, delapan rakaat dan dua belas rakaat ( Imran, 2006)

Shalat Dhuha adalah shalat sunah yang dilakukan setelah terbit matahari sampai menjelang masuk waktu zhuhur. Afdhalnya dilakukan pada pagi hari disaat matahari sedang naik/ kira-kira jam 9.00 . (www.wikipedia.org)

Shalat Dhuha adalah shalat sunnat yang dilakukan seorang muslim ketika waktu dhuha. Waktu dhuha adalah waktu ketika matahari mulai naik kurang lebih 7 hasta sejak terbitnya (kira-kira pukul tujuh pagi) hingga waktu dzuhur. Jumlah raka’at shalat dhuha bisa dengan 2,4,8 atau 12 raka’at. Dan dilakukan dalam satuan 2 raka’at sekali salam.(Rifa’i, 1993).

Shalat Dhuha adalah shalat sunat yang dilakukan pada pagi hari antara pukul 07.00 hingga jam 10.00 waktu setempat. Jumlah roka’at shalat dhuha minimal dua rokaat dan maksimal dua belas roka’at dengan satu salam setiap du roka’at (islam.com)

Dari beberapa pengertian diatas penulis melihat pendapat yang berbeda dalam hal waktu, namun yang pasti pelaksanaannya ketika matahari mulai naik sepenggalah (agak miring) sampai menjelang masuk waktu dzuhur, Dan waktu yang paling afdhal adalah ketika mulai panas. Hal ini dijelaskan di dalam sebuah hadits Nabi saw yang diriwayatkan oleh Imam Muslim; “Shalatu al-’awwabin hina tarmudhu al-fishal” (Waktu mengerjakan shalat ‘awwan (dhuha) adalah ketika hari panas).

Imam Muslim meriwayatkan dari Zaid bin Arqam bahwa ia berkata: “Rasulullah saw keluar menuju penduduk Quba’ ketika mereka akan mengerjakan shalat. Lalu beliau berkata: “Shalat ‘awwabin ketika hari mulai panas”.

Imam al-Nawawi di dalam kitab al-Majmu berkata: “Waktunya ketika matahari meninggi (condong). Sebagian ulama lagi mengatakan bahwa waktu yang paling afdhal adalah ketika matahari meninggi dan panasnya mulai terik.

Jumlah rakaatnya minimal dua rakaat, dan paling afdhal adalah delapan rakaat. Abu Hurairah ra. berkata;” Kekasihku Rasulullah saw berwasiat kepadaku dengan tiga perkara, puasa selama tiga hari setiap bulannya, dua rakaat shalat Dhuha dan mengerjakan shalat witir sebelum aku tidur” (Muttafaq `Alaihi).

Dalam sebuah hadits disebutkan bahwa jumlahnya delapan rakaat. Jumlah ini disebutkan dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Ummu Hani’ ra bahwa Rasulullah saw shalat di dalam rumahnya (Ummu Hani’) pada tahun pembebasan Makkah sebanyak delapan rakaat. Namun dalam hadits lain disebutkan bahwa jumlah rakaatnya tidak terbatas, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari `Aisyah ra. Ia berkata: “Rasulullah saw shalat Dhuha sebanyak empat rakaat lalu menambahnya seberapa yang dikehendakinya“.

Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa hadits-hadits tersebut seluruhnya disepakati kesahihannya dan tidak ada perselisihan di dalamnya menurut para muhaqqiq (ahl al-tahqiq) . Dan kesimpulannya, menurut beliau, shalat Dhuha minimal adalah dua rakaat, dan paling sempurna adalah delapan rakaat. Dan diantaranya empat atau enam, keduanya (empat atau enam rakaat) adalah lebih sempurna dari dua rakaat dan kesempurnaannya berada di bawah delapan rakaat (Muslim Syarh al-Nawawi: 5: 322).

Cara Melaksanakannya

Banyak bahan media cetak yang boleh dirujuk bagi mengetahui cara melakukan solat sunat Dhuha ini merangkumi bacaan-bacaan dalam solat hinggalah dalam sujud dan doa setelah selesai ibadat tersebut.

Cuma secara asas dan mudahnya berdasarkan hadis-hadis Nabi, shalat sunat Dhuha ini dilakukan seperti shalat-shalat lain, cuma bacaan yang dianjurkan Baginda S.A.W. selepas al-Fatihah, menurut hadis yang disampaikan oleh Uqbah bin Amir, ialah surah al-Syams pada rakaat pertama dan al-Dhuha pada rakaat kedua. (Riwayat al-Hakim)

Namun begitu, perkara (bacaan dalam solat) ini adalah sesuatu yang subjektif dan tidak statik. Maka tidak perlulah hanya terikat dengan kaifiat tertentu dan bacaan tertentu. Apa yang penting, solat tersebut diniatkan dengan betul, syarat-syaratnya dipenuhi dan rukun-rukunnya disempurnakan sebaik-baiknya. Begitu jugalah dengan doa selepas solat tersebut.

B. Hukum Shalat Dhuha

Shalat Dhuha hukumnya sunnah muakkad (yang ditekankan) [Majmu' Fatawa Imam Abdul Aziz bin Baz, 11:399]. Karena Nabi melakukannya, menganjurkan para sahabat beliau untuk melakukannya dengan menjadikannya sebagai wasiat.Wasiat yang diberikan untuk satu orang oleh beliau, berarti juga wasiat untuk seluruh umat, kecuali bila ada dalil yang menunjukkan kekhususan hukumnya bagi orang tersebut. Dasarnya adalah hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu yang menceritakan : “Kekasihku Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi wasiat kepadaku dengan tiga hal yang tidak pernah kutinggalkan hingga meninggal dunia : Puasa tiga hari dalam sebulan, dua rakat’at shalat Dhuha, dan hanya tidur setelah melakukan shalat Witir” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim. Oleh Al-Bukhari no. 1981. Diriwayatkan oleh Muslim no. 721, telah ditahrij sebelum ini].

Imam An-Nawawi Rahimahullah mengunggulkan pendapat bahwa shalat Dhuha itu hukumnya aunnah muakkad, setelah beliau membeberkan hadits-hadits dalam persoalan itu. Beliau menyatakan : “Hadits-hadits itu semuanya sejalan, tidak ada pertentangan diantaranya bila diteliti. Alhasil, bahwa shalat Dhuha itu adalah sunnah muakkad” [Syarah An-Nawawi atas Shahih Muslim 5/237 dan lihat Fathul Bari, Ibnu Hajar 3/57]

C. Keutamaan Shalat Dhuha

Orang yang suka memulai di pagi harinya dengan menyebut dan mengagungkan Allah dengan melakukan shalat dhuha yakni shalat sunnat dua rakaat sekali, dua kali, tiga kali atau empat kali sesudah naik matahari kira-kira antara jam 7 sampai dengan jam 11, Allah SWT akan menjamin baginya dengan jaminan istimewa di dunia dan akhirat.Perbuatan tersebut adalah kebiasaan yang dilakukan Rasulullah SAW selama hidupnya

Memang Shalat Dhuha merupakan keistimewaan yang luar biasa, sebab manusia akan merasa berat dan bahkan terlalu berat disaat-saat yang tanggung untuk berangkat kerja atau sedang kerja (sekitar jam 7 hingga jam 11), dia menyempatkan diri dulu buat melakukan shalat sunnat tersebut.

Padahal dirasa berat hanyalah apabila belum biasa dan belum tahu keistimewaannya. Lain halnya dengan orang yang sudah tahu keistimewaannya dan imannya pun cukup kuat, tentu walau bagaimanapun keadaannya, apakah dia mau berangkat, ataukah sedang dikantor, tentu ia mengutamakan shalat itu barang sebentar, ia merasa sayang akan keutamaan ridha Allah yang ada pada shalat tersebut.

Keutamaan shalat Dhuha dalam pahalanya memadai buat mensucikan seluruh anggota tubuh yang padanya ada hak untuk dikeluarkan shadaqahnya. Sebagimana keterangan Rasulullah SAW bahwa setiap persendian itu ada hak untuk dikeluarkan shadaqahnya. Sedang dengan tasbih, tahmid, takbir dan amar ma’ruf nahyil munkar, cukuplah memadai buat kafarat kepada haq tersebut. Tapi semua itu cukuplah memadai dengan shalat dhuha

Coba renungkankan isi daripada do’a setelah shalat dhuha itu, nadanya seolah-olah memaksa untuk diperkenankan oleh Allah. Dan memang demikianlah lafadz do’a tersebut diajarkan oleh Rasulullah SAW :

“Ya Allah, bahwasanya waktu dhuha itu waktu dhuha (milik) Mu, kecantikan ialah kencantikan (milik) Mu, keindahan itu keindahan (milik) Mu, kekuatan itu kekuatan (milik) Mu, kekuasaan itu kekuasaan (milik) Mu, dan perlindungan itu perlindungan Mu”.

Ya Allah, jika rizqiku masih diatas langit, turunkanlah (berlafadz perintah), dan jika ada di didalam bumi, keluarkanlah, jika sukar, mudahkanlah, jika haram sucikanlah, jika masih jauh dekatkanlah, berkat waktu dhuha, keagungan, keindahan, kekuatan dan kekuasaan Mu, limpahkanlah kepada kami segala yang telah Engkau limpahkan kepada hamba-hamba Mu yang shaleh”.

Itulah keistimewaan dan keutamaan shalat DHUHA, didunia memberikan keberkahan hidup kepada pelakunya, diakheratpun /di hari kiamat orang itu dipanggil/dicari Tuhan untuk dimasukkan ke dalam syurga, sebagaimana sabda Nya didalam hadits qudsi :

“Sesungguhnya di dalam syurga, ada pintu yang dinamakan pintu DHUHA, maka ketika datang hari kiamat memanggillah (yang memanggil Allah), dimanakah orang yang selalu mengerjakan sembahyang atas Ku dengan sembahyang DHUHA? inilah pintu kamu, maka masuklah kamu ke dalam syurga dengan rahmat Allah”. (Riwayat Thabrani dari Abu Huraerah

Teriwayatkan dalam hadits-hadits shahih di atas dan hadits-haits berikut.

1. Hadits Abu Dzar Radhiyallahu 'anhu dari Nabi SAW Sebagian kita sudah tak asing lagi dengan sholat sunnah yang satu ini. Namun pengetahuan belum menunjukkan sebuah perbuatan, sebuah pengamalan dalam beribadah. Hal ini bisa jadi karena kita malas, tak punya waktu mengerjakannya, tidak tahu bagaimana cara melaksanakannya, tak tahu segenap keutamaannya (fadilah) yang tersembunyi didalamnya. Dan memang Allah memberikan rahasia besar dibalik sholat dhuha ini. Seperti halnya sholat lail (qiyamullail) yang disunnahkan di sepertiga malam terakhir, dimana banyak orang asyik masyuk terlelap dengan tidur malamnya. Sehingga komunikasi dengan Allah menjadi sangat intim seperti halnya sepasang suami istri yang sedang merenda kasih. Juga sholat dhuha, yang disunnahkan saat matahari naik sampai menjelang siang, dimana banyak orang sudah mulai asyik dengan kesibukan kerja masing-masing. Dan lagi-lagi Allah memberikan fasilitas komunikasi langsung tanpa hambatan kepada kita yang mau melaksanakan sholat dhuha ini.



Abu Hurairah r.a. meriwayatkan : "Kekasihku, Rasulullah SAW berwasiat kepadaku mengenai tiga hal :

a). agar aku berpuasa sebanyak tiga hari pada setiap bulan

b). melakukan sholat dhuha dua raka'at dan

c). melakukan sholat witir sebelum tidur." ( H.R. Bukhari & Muslim )



Di hadits yang lain dikatakan bahwa Mu'azah al Adawiyah bertanya kepada Aisyah binti Abu Bakar r.a : "apakah Rasulullah SAW melakukan sholat dhuha ? "Aisyah menjawab," Ya, Rasulullah SAW melakukannya sebanyak empat raka'at atau menambahnya sesuai dengan kehendak Allah SWT. (H.R. Muslim,an-Nasa' i, at-Tirmizi, dan Ibnu Majah). Demikianlah hadits hadits tersebut meneguhkan ihwal kesunnahan sholat dhuha.

Status sunnah sholat dhuha di atas tentu saja tidak berangkat dari ruang kosong. Berdasarkan tinjauan agama, paling tidak beragam keutamaanya (fadilah ) yang bisa ditarik :

Pertama

Sholat dhuha merupakan ekspresi terimakasih kita kepada Allah SWT, atas nikmat sehat bugarnya setiap sendi tubuh kita. menurut Rasulullah SAW, setiap sendi di tubuh kita berjumlah 360 sendi yang setiap harinya harus kita beri sedekah sebagai makanannya. Dan kata Nabi SAW, sholat dhuha adalah makanan sendi-sendi tersebut.

"Pada setiap manusia diciptakan 360 persendian dan seharusnya orang yang bersangkutan (pemilik sendi) bersedekah untuk setiap sendinya. "Lalu, para sahabat bertanya : "Ya Rasulullah SAW, siapa yang sanggup melakukannya ? ”Rasulullah SAW menjelaskan : "Membersihkan kotoran yang ada di masjid atau menyingkirkan sesuatu ( yang dapat mencelakakan orang ) dari jalan raya, apabila ia tidak mampu maka sholat dhuha dua raka'at, dapat menggantikannya" ( H.R. Ahmad bin Hanbal dan Abu Daud )



Kedua

Sholat dhuha merupakan wahana pengharapan kita akan rahmat dan nikmat Allah sepanjang hari yang akan dilalui, entah itu nikmat fisik maupun materi. Rasulullah SAW bersabda, "Allah berfirman, "Wahai anak Adam, jangan sekali kali engkau malas melakukan sholat empat raka'at pada pagi hari, yaitu sholat dhuha, niscaya nanti akan Kucukupi kebutuhanmu hingga sore harinya." ( H.R. al-Hakim dan at-Tabrani).

Lebih dari itu, momen sholat dhuha merupakan saat dimana kita mengisi kembali semangat hidup baru. Kita berharap semoga hari yang akan kita lalui menjadi hari yang lebih baik dari hari kemarin. Disinilah, ruang kita menanam optimisme hidup. Bahwa kita tidak sendiri menjalani hidup. Ada Sang Maha Rahman yang senantiasa akan menemani kita dalam menjalani hidup sehari-hari.

Ketiga

Sholat dhuha sebagai pelindung kita untuk menangkal siksa api neraka di Hari Pembalasan (Kiamat) nanti. Hal ini ditegaskan Nabi SAW dalam haditsnya, "Barangsiapa melakukan sholat fajar, kemudian ia tetap duduk ditempat shalatnya sambil berdzikir hingga matahari terbit dan kemudian ia melaksanakan sholat dhuha sebanyak dua raka'at, niscaya Allah SWT, akan mengharamkan api neraka untuk menyentuh atau membakar tubuhnya” (H.R.al-Baihaqi)

Keempat

Bagi orang yang merutinkan shalat dhuha, niscaya Allah mengganjarnya dengan balasan surga. Rasulullah SAW bersabda, “Di dalam surga terdapat pintu yang bernama bab ad-dhuha (pintu dhuha) dan pada hari kiamat nanti ada orang yang memanggil," Dimana orang yang senantiasa mengerjakan sholat dhuha ? Ini pintu kamu, masuklah dengan kasih sayang Allah." ( H.R. at-Tabrani).

Bila menilik serangkaian fadilah di atas, cukup beralasan, bila Nabi SAW menghimbau umatnya untuk senantiasa membiasakan diri dengan sholat dhuha ini. Kendati demikian, untuk meraih fadilah tersebut, beberapa tata cara pelaksanaannya, kiranya perlu diperhatikan.



Kelima
Dari Abu Umamah ra bahwa Rasulullah saw bersabda: "Barangsiapa yang keluar dari rumahnya dalam keadaan bersuci untuk melaksanakan shalat wajib, maka pahalanya seperti seorang yang melaksanakan haji. Barangsiapa yang keluar untuk melaksanakan shalat Dhuha, maka pahalanya seperti orang yang melaksanakan `umrah....(Shahih al-Targhib: 673). Dalam sebuah hadits yang lain disebutkan bahwa Nabi saw bersabda: "Barangsiapa yang mengerjakan shalat fajar (shubuh) berjamaah, kemudian ia (setelah usai) duduk mengingat Allah hingga terbit matahari, lalu ia shalat dua rakaat (Dhuha), ia mendapatkan pahala seperti pahala haji dan umrah; sempurna, sempurna, sempurna" (Shahih al-Jami`: 6346).



Keenam

Pada kesempatan ini, anda saya ajak untuk melihat salah satu bukti empirik tentang manfaat shalat dhuha untuk meningkatkan sebuah prestasi. Peristiwa ini meliputi semua bidang, misalnya bagi pekerja disebuah perusahaan, baik swasta maupun negeri yang mengalami stress, atau bagi pelajar yang yang stress mengikuti pelajaran di sekolah

Dalam uraian ini anda akan saya ajak untuk membahas shalat dhuha yang tenyata membawa pengaruh positif terhadap penurunan stres dan lebih jauh untuk membuktikan bahwa shalat dhuha ternyata dapat digunakan sebagai pendekatan untuk mengubah perilaku maladjusment (ketidakmampuan menyesuaikan diri) akibat stress tersebut.

Shalat dhuha dipilih menjadi teknik untuk mengubah perilaku maladjusment akibat stress dalam konteks belajar mengajar disekolah didasarkan oleh dua pertimbangan yaitu, pertama pertimbangan normatif, sebagaimana dinyatakan oleh Allah SWT dalam Firman Nya bahwa

” Shalat dapat membawa ketenangan” (Q.S. Ar-Ra’d; 28).

Kedua, pertimbangan praktis, yaitu waktu shalat dhuha yang dimulai dari terbitnya matahari sampai dengan menjelang datangnya waktu shalat dzuhur, memungkinkan dapat dijalankan oleh siswa maupun mahasiswa, para pekerja perusahaan-perusahaan atau siapaun dengan cara memanfaatkan waktu istirahat.

Apabila shalat dhuha dijalankan dengan ikhlas, dapat memperbaiki emotional positif , yang dari sisi medis jika kita jalankan secara kontiniu, tepat gerakannya, khusyu’, dan ikhlas dapat memelihara immunitas tubuh, respon ketahanan tubuh yang baik dapat membuat individu terhindar dari infeksi, resiko terkena berbagai penyakit.





BAB III

KESIMPULAN

Salah satu bukti cinta dan belas kasih Rasulullah SAW terhadap umatnya adalah beliau menganjurkan dan memberi teladan dalam menjalankanshalat sunnah kepada kita sebagai tambahan dalam beribadah danbertaqarrub kepada Allah SWT. Anjuran dan teladan ini tidak lain kecuali agar mereka memperoleh kebahagiaan dunia dan akhirat. Rasulullah SAW ingin menyelamatkan umatnya dari kerusakan-kerusakan dalam kehidupan dan agar mereka sampai kepada posisi puncak keimanan.

Shalat sunnah disyariatkan kepada umat islam, tak lain agar orang mukmin semakin dekat kepada Allah, karena ia merupakan salah satu dari pemberian Tuhan yang sangat besar Nilainya. Diantara shalat-shalat sunnah yang disyariatkan dalam islamadalah shalat dhuha, yaitu shalat sunnah yang terdiri dari dua rakaat atau lebih, sebanyak-banyaknya dua belas rakaat, ketika waktu dhuha, yakni ketika waktu naiknya matahari setinggi tombak atau kira-kira jam 8 atau jam 9 hingga tergekincirnya matahari.

Meskipun shalat Dhuha waktunya dikerjakan bersamaan pada waktu umumnya orang-orang sedang bekerja di waktu pagi, namun shalat dhuha bukanlah suatu penghambat bagai tercapainya target pekerjaan. Sebaliknya, shalat dhuha merupakan salah satu kunci tercapainya prestasi dalam kerja. Sebab dalam islam tidak ada satupun syariat yang dapat membuat kerugian, tapi malah menguntungkan. Hal ini tergantung diri kita sendiri. Mampu atau tidakkah kita menyelami hikmah yang ada di dalamnya.

Namun yang pasti Allah SWT telah menyatakan dalam firman-Nya bahwa :

”Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): ” Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka ( Q.S.: Al-Imran;191)

DAFTAR PUSTAKA

Imran,M.2006. Penuntun Shalat Dhuha.Karya Ilmu, Surabaya

Musbikin, Imam.2007. Rahasia Shalat Dhuha, Mitra Pustaka. Yogyakarta.

Rifa’i, Moh.1993, ,Kumpulan Shalat-Shalat Sunnat, CV Toha Putra, Semarang

www.wikipedia.org. Shalat Dhuha,Diakses pada tanggal 8 agustus 2007, pukul 21.00 WIB

www.islam.com. Fadhilah Shalat Dhuha,Diakses pada tanggal 8 agustus 2007, pukul 21.15 WIB
Read More … SHALAT DHUHA (Dalam Sebuah Tinjauan)

Sabtu, 07 Mei 2011

Islam Itu Mudah dan Memudahkan

Read More … Islam Itu Mudah dan Memudahkan

Islam: The Perfect Religion and Best Way of Life for All

Islam: The Perfect Religion and Best Way of Life for All

By Dr. Norlain Dindang Mababaya

It is a must that we strive to know Islam. Allâh’s Messenger (sallallâhu ‘alayhi wasallam, meaning: May the peace and blessings of Allah be upon him) to the whole mankind encourages us to acquire knowledge of Islam in order to comprehend it. He says in the following authentic Ahâdith:

Abu Hurairah (radhiallâhu anhu, meaning: May Allah be pleased with him) narrated that... the Prophet (sallallâhu ‘alayhi wasallam) said, “Those who were the best in the pre-lslamic period of ignorance will be the best in Islam provided they comprehend the religious knowledge.” (Bukhâri 4/572 and Muslim)

‘Abdur Rahmân ibn Abi Bakrah (radhiallâhu anhu) narrated on the authority of his father that the Prophet (sallallâhu ‘alayhi wasallam) said, “If Allâh wants to do good to a person, he makes him comprehend the religion; and of course knowledge is attained by learning.” (Bukhâri 1/67)

Mu‘awiyah ibn Abi Sufyân narrated that Allâh’s Messenger said, “Goodness is a (natural) habit while the evil is a stubbornness. To whomsoever Allâh wills to show goodness, He favors him with the understanding in the Religion.” (Ibn Mâjah, 1/221)

When we study Islam or at least read the Qur’an and the authentic Ahâdith we learn that Islam is easy, complete and the perfect religion as well as way of life for the whole mankind. We read in the Qur’an and the Ahâdith the following unique features of Islam:

1. Islam is easy:

“But whoever believes and works righteousness he shall have a goodly reward and easy will be his task as We order it by Our command.” (Qur'an 18:88)

Abu Hurairah (radhiallâhu anhu) narrated that the Prophet (sallallâhu ‘alayhi wasallam) said, “Religion (Islam) is very easy and whoever overburdens himself in his religion will not be able to continue in that way. So you should not be extremists, but try to be near to perfection and receive the good tidings that you will be rewarded; and gain strength by offering the prayers in the mornings, afternoons and during the last hours of the nights.” (Bukhâri 1/38)

Anas bin Malik (radhiallâhu anhu) narrated that the Prophet (sallallâhu ‘alayhi wasallam) said, "Make things easy for the people, and do not make it difficult for them, and make them calm (with glad tidings) and do not repulse (them).” (Bukhâri,8/146)

2. Islam is complete:

“…He it is Who has sent unto you the Book, explained in detail. They know full well, to whom We have given the Book, that it has been sent down from your Rabb in truth. Never be then of those who doubt.” (6:114)

“For We had certainly sent unto them a Book based on knowledge, which We explained in detail -- a guide and a mercy to all who believe.” (7:52)

“…(This is ) a Book with verses basic or fundamental (of established meaning) -- further explained in detail -- from One Who is Wise and Well-Acquainted (with all things).” (11:1)

3. Islam is perfect:

“...This day have I perfected your religion for you, completed My favor upon you, and have chosen for you Islam as your religion.” (5:3)

As the perfect religion, Islam teaches mankind how to attain success in the most perfect way. The following are some of the Ahâdith that serve as enlightenment and guidance to those who desire for perfection:

Abu Hurairah (radhiallâhu anhu) narrated that the Prophet (sallallâhu ‘alayhi wasallam) said, "Goodness and comfort are for him who worships his Rabb in a perfect manner and serves his master sincerely.” (Bukhari 3/725)

Ibn Umar (radhiallâhu anhu) narrated that Allâh’s Messenger (sallallâhu ‘alayhi wasallam) said, "If a slave is honest and faithful to his master and worships his Rabb (Allâh) in a perfect manner, he will get a double reward.” (Bukhari 3/722)

Abu Hurairah (radhiallâhu anhu) narrated that the Prophet (sallallâhu ‘alayhi wasallam) said, "Whoever believes in Allâh and His Messenger, offers prayers perfectly and fasts (the month of) Ramadan then it is incumbent upon Allâh to admit him into Paradise, whether he emigrates for Allâh’s cause or stays in the land where he was born.” They (the companions of the Prophet (sallallâhu ‘alayhi wasallam) said, "O Allâh’s Messenger (sallallâhu ‘alayhi wasallam)! Should we not inform the people of that?" He said, "There are one-hundred degrees in Paradise which Allâh has prepared for those who carry on Jihad in His Cause. The distance between every two degrees is like the distance between the sky and the Earth. So if you ask Allâh for anything, ask Him for the Firdaus, for it is the last part of Paradise and the highest part of Paradise, and at its top there is the Throne of Beneficent, and from it gush forth the rivers of Paradise.” (Bukhari 9/519)

Abdullah ibn Hisham (radhiallâhu anhu) narrated: “We were with the Prophet (sallallâhu ‘alayhi wasallam) and he was holding the hand of 'Umar bin Al-Khattab. 'Umar said to Him, "O Allâh’s Messenger! You are dearer to me than everything except my own self.” The Prophet (sallallâhu ‘alayhi wasallam) said, "No, by Him in Whose Hand my soul is, (you will not have complete or perfect faith) till I am dearer to you than your own self.” Then 'Umar said to him, "However, now, by Allâh, you are dearer to me than my own self.” The Prophet (sallallâhu ‘alayhi wasallam) said, "Now, O 'Umar, you are a believer.” (Bukhari 8/628)

Abu Hurairah (radhiallâhu anhu) narrated that the Prophet (sallallâhu ‘alayhi wasallam) said: “The most perfect believer in respect of faith is he who is best of them in manners.” (Abu Dawud 4665)

Abu Humamah (radhiallâhu anhu) narrated that the Prophet (sallallâhu ‘alayhi wasallam) said: “If anyone loves for Allâh’s sake, hates for Allâh’s sake, gives for Allâh’s sake and withholds for Allâh’s sake, he will have perfect faith.” (Abu Dawud 4664)

Abu Hurairah (radhiallâhu anhu) narrated that the Prophet (sallallâhu ‘alayhi wasallam) said: “Among the Muslims the most perfect, as regards his faith, is the one whose character is excellent, and the best among you are those who treat their wives well.” (Tirmidhi 278, 628, 3264 and Abu Dawud)

Aishah (Radhiallâhu anha) narrated that Allâh’s Messenger (sallallâhu ‘alayhi wasallam) said, "Among the believers who show most perfect faith are those who have the best disposition, and are kindest to their families.” (Tirmidhi 3263)

All the above Prophetic teachings in addition to the Qur’anic Ayât (Verses) earlier quoted clearly tell us that indeed, Islam is the perfect religion and hence the best way of life for all. Islam as a universal religion is Allah’s Blessing and Mercy for all of us. It is for us to enjoy it and be successful in the eternal world to come. The best way to attain success through Islam is to learn it according to its authentic Sources. That is, to acquire knowledge of Islam through the Qur’an and the Sunnah and the right deductions from these revealed Sources of Knowledge and Guidance.

Since Allah (Subhanahu wa ta’ala) is the One Who gives guidance, earnestly ask Him for authentic Islamic knowledge. We must seek His help and guidance to be able to apply such knowledge and share them to others – all for His Pleasure. May our Rabb (Cherisher and Sustainer) increase our knowledge of Islam and enjoy the best life of being true Muslims forever. Ameen.
Read More … Islam: The Perfect Religion and Best Way of Life for All
ISLAM IS EASY A WAY
by Khurram Murad
Introduction

One of the terms used by the Qur'an during the early Makkan period to describe Islam was Al-Yusraa, or 'The Easy Way'. This is simply because Islam was, and is the natural way of life. Indeed, whatever is natural for human beings should be easy for them in every way, hence cause them to gravitate towards it easily, and consequently bring harmony, peace and tranquility to their lives. Since the Quran is the book upon which the Islamic way of life is built, then the Quran has to be easy to understand and follow-it is 'The Easy Way'.

This view that Islam is easy to understand and practice, is one which is derived from the primary sources of Islam. In the Quran, Allah comforts us by continuously reassuring us that He desires for us ease not hardship, despite the seemingly formidable trials and tribulations that we may sometimes face. He says:

'God desires ease for you, and desires not hardship' (2:185);
'Truly with hardship comes ease' (94: 6);
'God will assuredly appoint, after difficulty; easiness' (65:7);
'Whoso fears God, God will appoint for him, of His command, easiness' (65:4);
'We shall speak to him, of our command, easiness' (18:88);
'God desires to lighten things for you, for the human being has been created weak' (94:28).



In addition to the Quran, the Hadith literature is also replete with references exhorting us to adopt a balanced and simple approach to life. Prophet Muhammad (saw) has advised us: 'This Deen or way of life is easy But if anyone overdoes it, it gets the better of him. So keep to the right course, approximate to perfection, rejoice, and ask for help in the mornings, the evenings, and some of the latter part of the night' (Bukhari). The Prophet (saw) has also praised those who adopt a moderate approach to 'ibadah or worship. Ibadab, he said, should be done with freshness of heart, not an exhausting routine carried out in spite of fatigue.

'Do those deeds which you can do easily, as Allah will not get tired [of giving rewards] till you get bored and tired [of performing good deeds! ... and the most beloved deed to Allah is the one which is done regularly even if it is little' (Bukhari).



Islam is not Complex

Islam is not a way of life that is complex or difficult. Rather it is the human being who practices Islam who often makes it difficult-and then, complexity overtakes him so that eventually he is unable to cope with even the simplest of tasks. That it is possible for every person to understand and practice Islam is assured by the following three principles:

Firstly, the basic beliefs contain no mystery and are therefore easy to comprehend. Every tenet in Islam is subject to analysis and inquiry. Moreover, Islam does not present stumbling blocks to the mind. Islam does not present concepts or ideas which the intellect cannot grasp. Even the simplest of minds can understand its basic beliefs. It is therefore not surprising that its beliefs are universal.

Secondly, the most important and stringent obligations ordained upon Muslims are easy to undertake. That is, the duties and obligations laid down by Allah have been graded. And, it is the wisdom of Allah that the greater the importance He has attached to any act, the easier it is for everyone to accomplish it. Thus, for example, the five daily Salat (Prayers) and Sawm (fasting) during the month of Ramadan are compulsory upon everyone, since they are within every-one 5 reach to accomplish. Zakat (almsgiving) and Hajj (pilgrimage), on the other hand, though fundamental pillars of Islam, are not compulsory upon everyone. If it were made compulsory upon everyone, then those who did not possess the financial means would be unable to carry out these duties. In such cases, it would not have been possible for everyone to practice Islam in all its facets. Therefore, these duties are obligatory only upon those who have the means to do so.

Thirdly, there are provisions for derogation when it is genuinely not possible for someone to fulfill an obligation. For instance, if a person is genuinely unable to stand up and pray, then he is permitted to sit down or even lie down and pray. Similarly, if there is no water available to perform the wudu or ablution before prayer, then one can make tayammum, which is a simple dry ablution performed by using clean earth or dust. Therefore, even when there appear to be difficulties, if one looks closely at the Shari'ah or Islamic legal code as a whole, one will find so many rules relating to derogation that enable one to practice Islam very easily-and this is the case regardless of the problem: political, economic or simply personal. Indeed, throughout the Quran various provisions have been made to ease things for travelers, for the sick, for pregnant or nursing women, for the old and for the poor, for on no soul does Allah place a burden greater than it can bear (7: 42) and 'He has chosen you, and has imposed no difficulties on you in religion' (22: 78).

Therefore, as long as one possesses the basic tools-a sound knowledge of what is stated in the Shari'ah regarding a particular matter and an awareness of the responsibility for ones own actions-a person may decide for himself when to derogate from the standard. Thus, although according to the Shari'ah it is haram (or unlawful) to eat pork, if someone is on the brink of starvation and the only food available is this pork, then one can decide for oneself whether and when to consume this haram meat in order to survive, and thereby derogate from the standard. Of course, this does not make the pork halal or lawful, but neither will one be punished for committing a haram or prohibited act, so long as it is necessary for one's essential well being as a Muslim.

The Path of Moderation

Moderation which leads to balance, is a fundamental and distinguishing feature of Islam. Allah tells us: 'We have made you a nation justly balanced' (2:143). Additionally, when the Quranic verse 'As to monasticism which they themselves invented, We did not prescribe any of it for them' (57: 27) was revealed, the Prophet Muhammad commented: 'Do not overburden yourselves, lest you perish. People [before you] overburdened themselves and perished. Their remains are found in hermitages and monasteries' (Musnad of Abu Ya'la). In other words, excesses may eventually develop into large problems and even become a threat to the well being and security of the Muslim community.

Indeed, the Prophet always resisted any tendency towards religious excessiveness. He once said to his close Companion Abdullah ibn 'Amr: 'Have I heard tight that you fast everyday and stand in prayer all night?' Abdullah replied, 'Yes, 0 Messenger of God: The Prophet said, 'Do not do that. Fast, as well as, eat and drink. Stand in prayer, as well as, sleep. This is because your body has a right upon you, your eyes have a right upon you, your wife has a right upon you, and your guest has a right upon you (Bukhari, Muslim). Abiding by the will of Allah requires that we seek and maintain a delicate balance between the various obligations that demand our attention; between our obligations to Allah, our obligations towards others and our obligations towards ourselves. Moreover, whenever the Prophet had to choose between two options, he always chose the easier, unless it was explicitly forbidden (Bukhari).

Maintaining a Joyful Disposition

Allah wants us to enjoy ourselves not only in the Hereafter but also in this world. Allah tells us in the Quran to pray for both 'the good in this world and the good in the Hereafter' (2:201).

Additionally the Quran speaks extensively about the enjoyment of life:

'O children of Adam! Wear your beautiful apparel at every time and place of prayer Eat and drink but waste not by excess, for Allah loves not wasters. Say: 'who has forbidden the beautiful gifts of Allah which He has produced for His servants and the things clean and pure which He has provided for sustenance' (7:30-301).



And again,

'O you who believe! Make not unlawful the good things Allah has made lawful to you. But commit no excess, for Allah does not like those given to excess. Eat of the things which Allah has provided you, lawful and good, but fear Allah, in whom you believe' (4: 86-88).

Surprising as it may seem to some of us, the Prophet not only accepted jokes; he also told them himself He was cheerful and possessed an easygoing character He was always smiling at his Companions and enjoyed their conversations. He also possessed a very keen sense of humor. But, his jokes were more of a philosophical nature, never inappropriate and always true. For example, once an old lady went to the Prophet and asked whether after her death she would enter Paradise or not. To this the Prophet replied, 'No old woman would enter heaven'. On hearing this, the woman was naturally very sad. 'Then, what is the reward for them?' she asked. The Prophet relieved her anxiety by saying, 'All old people will be made young before they enter Paradise.'

Relaxing your Mind

From the analysis above, it should be clear that Islam does not expect of any individual that he should spend all his leisure time in the mosque or at home and should listen to nothing but recitation of the Quran, or for that matter, be engaged in exclusively 'religious' pursuits. Rather, it recognizes that we are human beings, so that, as we eat and drink, and also need to relax and enjoy our-selves.

Relaxation is not at odds with piety and dignity. The Prophet prayed and engaged in worship more than anyone, but he also enjoyed good things, smiled and joked. Indeed, in his prayers he would beseech Allah for the good things of this world. Relaxing the mind also has the additional benefit of resting and rejuvenating the body so that when we eventually return to fulfill out various obligations, we will be more focused and ready All ibn Abu Talib once said: 'Minds get tired, so do bodies, so treat them with humor' and 'Refresh your minds from time to time, for a tired mind becomes blind'. Another Companion of the Prophet, Abu Darda said: 'I entertain my heart with something trivial in order to make it stronger in the service of the truth'.

As we have highlighted before, the approach of the Prophet to life's activities was always a balanced one. As devoted as he was in his personal worship, he was quick to indicate to his followers that the path of Islam is the way of moderation. Thus, when he heard that one of his attendants was continuously fasting during the day and spending the entire night in prayer, he remarked: 'In every deed [of action] there is a peak followed by lassitude. He who, in his lassitude, follows my Sunnah [the part of moderation] is on the right path, but he who, in his lassitude, follows another [guidance] has [erred and] gone astray [from the straight path Allah has revealed]' (al Bazzaz)

Making Islam Easy for Others

In sharing the message of Islam with people the Prophet was advised in the Quran: 'It is part of the mercy of Allah that you deal gently with them If you were severe or hardhearted, they would have broken away from you' (3: 159). Thus, when the Prophet sent his Companions Mu'adh and Abu Musa to teach Islam to the people of Yemen, he gave them the following advice: 'Facilitate [religious matters to people] and do not make [things] difficult. Obey each other and do not differ [amongst yourselves].' (Bukhari & Muslim).

On other occasions he also said: 'This Deen or way of life is easy'; 'Make it easy, don't make it difficult; 'Let people rejoice in being Muslims and not run away from it' and 'Cheerfulness towards other people, even a smile is a sadaqah or charity to be rewarded by Allah'.

Moreover, a person-in seeking to purify himself and further develop his God-consciousness-may choose to place greater demands of worship upon himself, but this in no way means that he has the right to impose or force the same on others, and thereby, unconsciously alienate them from Islam. The Prophet exemplified this in his own life because he used to prolong the Salat whenever he was alone, but he would shorten it whenever he led others in Salah. Regarding this he said: 'Whoever among you leads the people in Salat, he should shorten it, for amongst them are the weak, the old, and the one who has business to attend to. And if anyone among you performs Salat alone, he may then prolong [Salat] as much as he wishes' (Bukhari).

Similarly, 'Umar Ibn al Khattab emphasized that creating unnecessary difficulties for people may well have the effect of leading them away from Allah, rather than making them better Muslims. He advised: 'Do not make Allah hateful to His servants by leading people in Salat and so prolonging it that they come to hate what they are doing'

Ease versus Hardship

To say, however, that Islam is easy and not 'difficult', is not to imply that Muslims will not face 'hardship'-and here the two terms must be distinguished. Indeed, although Islam is easy to understand and practice, the whole purpose of the trial is to make manifest the degree to which an individual is steadfast (and hence sincere) in his submission to Allah- and this is precisely what is indicated by the Quranic verse: 'And We will most certainly test you with something of fear and hunger, and loss of possessions and lives and crops' (2:155).

Notwithstanding these trials however, we can find ease in this world and the next. But, this will be so only if we are firm in our faith in Allah and follow the course prescribed by Islam, as He Himself has declared: 'But give good news to those who are patient, who, when a calamity strikes them, say: 'Indeed we belong to God and indeed to Him we shall be returning: They are those on whom are blessings from their Sustainer, and mercy-and those, they are the rightly-guided. (2: 155-157).

Taken from: http://www.masmn.org/Books/Khurram_Murad/Islam_The_Easy_Way/index.htm
Read More …

Senin, 11 April 2011

Prosedur Pengampunan Dalam Islam Sungguh Masuk Akal

Kamis, 31 Maret 2011 17:25 WIB

REPUBLIKA.CO.ID, "Saya menjadi Muslim sebab ada banyak alasan baik, namun yang terpenting, saya ingin dekat dengan Tuhan dan menerima pengampunan dan penyelamatan abadi," tulis Ismail Abu Adam di akun YouTube miliknya. Padahal jauh sebelum menyatakan itu, Ismail yang awalnya penganut Kristen taat, ingin melakukan misi penginjilan ke komunitas Muslim yang selama ini ia pikir harus diselamatkan.

"Saya lahir besar sebagai Kristen. Tetapi dasar saya adalah Katholik Roma," kata Ismail. "Saya selalu meyakini Yesus adalah Tuhan dan saya berikan hidup saya kepadanya," tuturnya.

Ismail meyakini Yesus adalah penyelamat dan ia juga mempercayai peristiwa kematian, penyaliban hingga kebangkitan Yesus. "Juga konsep dosa asal, seratus persen semua itu saya yakini sebagai kata-kata tuhan," ungkap Ismail.

Sebagai penganut taat, ia pergi ke gereja setiap minggu dan aktif dalam kegiatan peribadatan. Bahkan ia kerap mengkotbahi teman-temanya dan mengajak mereka yang beberbeda keyakinan untuk mempercayai agama yang ia anut.

Pada awal usia 20-an, Ismail mulai tertarik melebarkan kotbah ke umat Muslim. "Saya besar, tinggal di Amerika Utara. Di sana saya sangat jarang bertemu Muslim, yang ada hanyalah kaukasia dan kristen, jadi saya ingin menyakskan Kristen bisa disebarkan ke komunitas Muslim," ujarnya.

Sebelum benar-benar turun ke lapangan dan bersentuhan langsung dengan Muslim, Ismail memutuskan mengawali dari dunia maya. Ia mencoba mencari celah bagaimana Kristen bisa disebarkan lewat media tersebut.

Ketika menelusuri internet itulah ia menemukan dan menyaksikan video yang ia anggap menarik; debat antara seorang Muslim dan penginjil. Muslim itu dari Afrika Selatan bernama Ahmad Deedat. Lewat debat, Ismael menyadari bila ia sangat paham injil. "Ia selalu menang dan mampu mematahkan serta membuat sanggahan jitu terhadap penginjil dari setiap aspek," tutur Ismael.

"Ia mematahkan argumen bahwa dosa asal itu tidak ada, bahwa Kristen bukan kata-kata Tuhan, serta menunjukkan bahwa Kristen adalah doktrin yang salah karena dibuat oleh intepretasi selip, sudah mengalami fabrikasi, modifikasi ditambah dan juga dikurangi oleh penulisnya," kata Ismail lagi.

Dedat, menurut Ismail, juga menyinggung doktrin trinitas, kebangkitan, penyaliban. "Terasa betul argumen lawan (penginjil-red) sangat lemah dan mudah dipatahkan. Harus saya akui, jujur saya tidak suka Ahmad Deedat saat itu," ungkap Ismail.

Ia bahkan frustasi dengan pembicara dari kubu Kristen. "Ia memegang gelar PhD di bidang teologi Kristen, tapi ia tak bisa mematahkan balik argumen Ahmad Deedat yang hanya bicara sendiri dan hanya didukung oleh Al Qur'an."

Saat itu Ismael berpikir Deedat tentu menggunakan Injil untuk membantah doktrin Kristen. Ia pun tergugah untuk mempelajari Kristen lebih lanjut dengan semangat kelak ia akan membantah argumen-argumen Ahmad Deedat.

Ismael mengaku tipe orang dengan pemikiran skeptis. "Saya sulit percaya dan meyakini sesuatu jadi saya perlu memelajari dan menyelediki sendiri untuk memahami dan meyakini sesuatu," ujarnya.

Saat memutuskan untuk lebih mendalami Kristen ia memilih dari prespektif Islam. "Sebelumnya saya tak pernah melakukan itu, memelajari Kristen dari prespektif selain Kristen dan Deedat benar-benar mengonfrontasi pemahaman saya," ungkap Ismail.

Ismail pun mengkaji Injil dan doktrin Kristen dari Islam. Ia memelajari keabadian, konsep trinitas, penyaliban Yesus, konsep juru selamat hingga kebangkitan, dosa asal. "Apakah benar injil adalah kata-kata tuhan," tuturnya.

Ketika mendalami Al Qur'an Ismail menyadari bahwa argumen Deedat ternyata benar. "Saya tiba-tiba merasa berada di jalan yang salah. Kristen bukanlah kata-kata Tuhan. Ini benar-benar sebuah tamparan keras bagi saya" kata Ismail.

"Saya telah menganut Kristen bertahun-tahun, saya lahir sebagai Kristen dan menjadi seorang Katholik selama 20 tahun, tiba-tiba semua yang saya yakini berbalik dari atas ke bawah. Tentu ini merupakan guncangan besar," tuturnya.

Saat itu belum timbul keinginan Ismail untuk menjadi Muslim. "Yang saya inginkan saat itu mengetahui secara mendasar kebenaran sesungguhnya," ungkapnya.

Islam pun mulai ia pejalari. Dari sana ia memahami Muslim hanya mempercayai satu tuhan dalam konsep bernama tauhid. Monoteisme, itulah kesimpulan yang ia peroleh dari agama Islam. "Mereka memanggil tuhan dengan Allah, mereka percaya Yesus adalah nabi, seorang messiah yang mengabarkan kebenaran saat dibangkitkan lagi, itu juga keyakinan besar yang saya anut," kata Ismail.

Lebih dalam mengkaji, Ismael menemukan konsep pengampunan dan penyelamatan Tuhan. Ia memahami pengampunan dalam Islam diperoleh dengan cara beriman kepada Tuhan, melakukan ajaran-Nya dan berbuat kebaikan sebagai wujud iman.

Ismail juga mengetahui bahwa Muslim mempercayai ada nabi setelah Isa yakni Muhammad. "Mereka meyakini itu sebagai kata-kata Tuhan dan semua ada dalam kitab yakni Al Qur'an," ujarnya. "Ini sesuatu yang baru bagi saya. Saya pernah tahu Islam, tapi tidak mendetail."

Saat itu Ismail mengaku mulai muncul rasa suka terhadap Islam. "Muslim mempercayai keberadaan Yesus. Bagi saya itu adalah sebuah tautan antara Islam dan Kristen dan itu membuat saya merasa nyaman. Saya seperti menemukan batu pijakan," tutur Ismael.

Begitu mengetahui bagaimana Muslim meyakini Tuhannnya, bagaimana Nabi diutus membawa pesan, Ismail merasa dilahirkan untuk mempercayai itu. Ia pun memutuskan pergi ke masjid. "Saat itu saya pindah ke kota kecil dan di kota itu ada sebuah masjid. Saya ketuk pintunya dan berkata saya ingin berbicara dengan seseorang tentang Islam," tutur Ismail.

Setelah itu Ismail rutin meyambangi masjid tersebut saban minggu untuk berdiskusi dengan seorang imam di sana. Sang imam memberinya buku-buku bacaan tentang Islam dan juga biografi Rasul Muhammad. saw. "Ia meladeni dan menjawab semua pertanyaan-pertanyaan saya," kata Ismail.

Hingga suatu hari, sang Imam berkata kepadanya "Saya tidak ingin kamu menjadi Muslim kecuali kamu benar-benar yakin dengan agama ini." Mendengar itu Ismael lagi-lagi mengaku terkejut. "Selama saya menjadi Kristen saya selalu bertemu kotbah dan juga berkotbah untuk mengajak seseorang menjadi Kristen. Setiap Kristen selalu mencoba mempengaruhi seseorang menjadi Kristen," tuturnya. "Hampir tidak mungkin Kristen berkata, 'Saya tidak ingin kamu menjadi Kristen kecual kamu yakin dan kembalilah kepada saya jika kamu sudah yakin'."

Ismail justru tertantang dengan ucapan sang imam. Apakah ini memang jalan sesungguhnya? "Ini justru menggelitik saya untuk mengetahui apakah Islam itu memang yang benar, yang harus diyakini? Sungguh tak ada yang memaksa saya untuk menjadi Muslim," tuturnya. "Saya melihat dalam Islam terdapat kebenaran dan itu tampak jelas sebagai cara hidup yang diinginkan Tuhan bagi saya," ujarnya.

Ketika Ismail mengingat Injil kembali, justru ia menemukan fakta Yesus yang diyakini sebagai tuhan tak pernah mengklaim dirinya adalah tuhan dan menyeru pengikutnya untuk menyembahnya. Membandingkan lebih jauh lagi, dalam Al Qur'an, Ismail menemukan janji pengampunan Allah akan diberikan bagi orang yang beriman, namun di Injil, kata 'janji' itu tak ada.

"Pengampunan dan penyelamatan diberikan Allah karena Ia mencintaimu, karena engkau bertobat, beriman kepadanya dan melakukan apa yang ia kehendaki. Itu sungguh jelas dan sederhana," kata Ismail. Sementara di Kristen, menurut Ismail, penyelamatan cukup sulit bagi pemeluknya.

"Pertama anda harus meyakini dahulu peristiwa pembunuhan kejam dan penyaliban seseorang yang tak berdosa, di mana darah ditumpahkan demi menyelamatkan dosa anda. Anda diciptakan dengan dosa asal. Tuhan menempatkan diri anda di dunia bersama dosa dalam hati atau jiwa anda. Semua itu justru tidak mencerminkan keadilan Tuhan," paparnya.

Ismail menilai pengampunan dan penyelamatan di Islam lebih masuk akal. "Pengampunan adalah milik Tuhan, pemberian Tuhan karena cinta, karena kita meminta kepada-Nya, karena kita meyakini-Nya," ujarnya. "Memang di Injil juga ada kata-kata yang mengandung kebenaran. Tetapi Islam lebih superior dan secara logika benar. Bagi saya itu sangat mengagumkan," imbuhnya.

Padahal selama ini Ismail selalu membayangkan Islam sebagai agama kekerasan, seperti menganjurkan pembunuhan. "Tapi ketika saya membaca Al Qur'an saya menemukan banyak ketenangan, kalimat mengandung kedamaian, kesunyian dan pencerahan. Karena itulah saya memutuskan untuk menjadi seorang Muslim.

Kini Ismael meyakini Allah adalah tuhannya dan menyerahkan seluruh hidupnya kepada-Nya. "Ia adalah raja sekaligus penyelamat saya di dunia dan akhirat. Dengan ini saya pun meyakini Yesus membenarkan ajaran Yesus sebagai seorang Muslim," ujarnya.

Saat ini Ismael mengambil disiplin Kajian Islam di perguruan tinggi. Dalam sepuluh tahun terakhir ia telah bepergian ke enam negara bermayoritas Muslim dan membaca puluhan buku-buku tentang Islam dan Perbandingan Agama. Ia bahkan sudah cukup fasih untuk berbincang dalam Bahasa Arab. Dalam akun YouTube-nya Ismail menulis, "Saya mencintai Allah karena Ia yang pertama kali mencintai saya."

Redaktur: Ajeng Ritzki Pitakasari

Read More …